Label

Kamis, 15 Maret 2012

Andai Emak seorang Haji

Tak bisa disangkal lagi, menaikkan orang tua ke tanah suci adalah impian sejuta anak muslim di dunia. Tak terkecuali aku. Aku yang hanya seorang anak petani miskin dari golongan yang tak diperhitungkan sama sekali. Aku yang masih terlalu dini untuk mengenal dunia dan sekitar ku. Serta aku yang masih tertatih-tatih menapaki masa depan ku yang belum pasti. Tetapi telah berani bermimpi seperti itu.
            Masih ku ingat, tatkala aku masih senang mengekor kemanapun emak pergi. Pasar, kebun, sawah, atau bahkan ke tempat acara hajatan sekalipun. Hingga muncullah berbagai celotehan saudara-saudara ku yang lain bahwa aku tidak lebih dari sekedar “pakkampi” dalam bahasa kami yang artinya pengikut atau dalam bahasa kerennya adalah  follower
            Aku yang masih sangat kecil saat itu belum mengerti tentang strata sosial, tentang arti sebuah kedudukan. Tentang siapa yang harus dihormati dan siapa yang harus didahulukan. Yang aku tahu, kita harus menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda. Itu pun kudapat dari kata-kata dalam buku PPKN kami di sekolah.
            Akupun masih ingat saat itu. aku dan emak akan pergi ke salah satu hajatan tetangga kami. Seperti yang sudah-sudah, aku pergi dengan pakaian terbaik yang ku punya. Sedangkan emak, hanya memakai pakaian sederhana, dan sarung yang melilit di pinggangnya. Sudah menjadi adat di kampung kami, para ibu-ibu datang ke acara hajatan dengan menggunakan sarung yang dililitkan melingkar menyerupai rok. saat kutanya  perihal mengapa emak harus memakai sarung , emak hanya tersenyum dan berkata.
“Memakai sarung itu, menandakan hubungan kedekatan atau kekerabatan yang erat dengan si empunya hajatan”.
            Seperti biasa, ketika sampai di tempat hajatan kami akan masuk melalui pintu belakang yang becek dan lebih pantas disebut dapur darurat . Disana-sini banyak asap yang mengepul, pekat serta bau anyir yang menyengat. Beberapa bahan-bahan makanan tergeletak tak rapi diantara ibu-ibu bersarung. Namun anehnya si ibu-ibu bersarung ini, seperti tak teganggu dengan keadaan seperti itu. mereka tetap bekerja, kadang bercanda, dan saling menyapa. Sungguh indah kekerabatan yang terjalin diantara mereka.   
            Seorang wanita tua menyapa emak dan mempersilahkannya masuk yang tak lain dan tak bukan adalah si empunya hajatan. Kami dipersilahkannya duduk kemudian disajikan aneka kue dan teh hangat. Aku pikir ini juga adalah salah satu adat di kampung kami. karena sejak aku duduk di bangku SD hingga aku kuliah pun hidangan dan perlakuannya masih seperti itu. kami datang lewat pintu belakang, dipersilahkan masuk, kemudian dihidangkan beberapa kue dan yang tak ketinggalan adalah secangkir teh hangat.
            Tapi satu hal yang aku tak mengerti dari adat ini. mengapa aku dan emak harus masuk melalui pintu belakang. Sementara ku lihat beberapa ibu-ibu lain dengan santainya masuk melalui pintu depan. Mereka adalah ibu-ibu bersarung dengan sebuah benda berkilau diatas kepala mereka  yang biasa kami sebut songko’ hajji. Belakangan baru aku mendapat jawabannya “karena mereka adalah seorang haji”.
            Semua bentuk diskriminasi ini, bukan hanya sekedar pintu masuk saja. Mereka si ibu-ibu bersarung seperti emak kerjanya hanya di dapur. Memasak, memotong-motong daging, mencuci piring dan berbagai pekerjaan kasar lainnya. Sementara mereka yang si ibu-ibu haji hanya duduk manis menikmati hidangan dengan kipas-kipas cantik ditangan mereka.
            Emak memang bukannlah seorang haji. Beliau hanyalah ibu rumah tangga biasa yang sangat luar biasa bagi ku. Aku ingin emak diperlakukan sama seperti itu. hingga muncullah impian ku ini, aku ingin emak naik haji.
Setelah menghabiskan teh dan beberapa kue dihadapanku, emak memberiku isyarat agar meninggalkan tempat ini, dan itu artinya aku harus bergegas keluar, mencari teman baru, dan bermain sepuasnya.tak seperti teman-teman ku yang lain. Aku terlahir sebagai anak gadis yang pemalu. Tak akan menyapa bila tak disapa duluan. Bahkan tak akan membalas jikalau disakiti teman sepermainan sendiri.
            Aku masih sangat ingat peristiwa itu. sebuah peristiwa tragis yang memalukan. Seorang bocah kecil, yang terkenal nakal, meludahi ku dengan sangat tak manusiawi. Yah…meludahi bukan dalam arti kiasan tapi meludahi dalam arti sebenarnya. Hingga sekarang pun tak ku ketahui apa motif sebenarnya sehingga dia tega memperlakukan aku seperti itu. apakah karena aku bukanlah dari keluarga seorang haji ?. entahlah.
            Dan dimasa modern seperti sekarang ini, fenomena diskriminasi ini masih sering terjadi. Cerita ini ku dengar dari seorang ibu-ibu yang sedang mengobrol. Lebih tepatnya menguping..hehehh. sambil menahan tangisnya si ibu bercerita tentang pengalamannya yang mendapat perlakuan berbeda dari si empunya hajatan. Dirinya yang hanya orang biasa, merasa dibedakan perlakuannya dengan tamu-tamu yang lain berpredikat haji. Hemm…lucu memang. Ketika sebagian masyarakat kita menganggap gelar haji hanya untuk mendapat pengakuan dari orang lain. Merasa perlu dan patut untuk dihargai.